Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sejarah Teungku Chik Di Tiro

Gambar Pahlawan Teungku Chik Di Tiro

Perang Aceh adalah terjadi karena ada keinginan Belanda untuk menguasai Aceh. Peperangan yang mampu membuat pasukan Belanda ketar-ketir karena begitu gigihnya rakyat Aceh dalam membela tanah airnya.



Biografi Singkat Teungku Chik Di Tiro

Hidup dalam ruang lingkup ajaran agama Islam. Masa kecil Teungku Chik Di Tiro yang bernama asli Muhammad Saman selalu dijalani dengan selalu mengikuti ajaran-ajaran Agama Islam yang sangat ketat.

Masa kecil yang harus dijalani dengan bermain, tapi tidak bagi Muhammad Saman (Teungku Chik Di tiro). Masa kecil beliau hidup selalu berada dikalangan para santri yang ada di Garot dan di Tiro.

Masa kecilnyapun telah tampak bahwasannya, beliau kelak akan menjadi orang besar (hebat). Seorang anak kecil yang haus akan ilmu, sehingga beliau dari kecil sudah banyak belajar dari beberapa guru khususnya dalam mempelajari Agama Islam.


Ketika beranjak dewasa Teungku Cik Di Tiro tidak pernah puas akan ilmu yang dipelajarinya. Beliau terus belajar menuntut ilmu sehingga membawanya berguru ke Lamkrak, Aceh Besar.


Muhammad Saman (Teungku Chik Di Tiro) merasa pelajaran yang diterima dari ayah dan pamannya dirasanya belum cukup. Karena itulah beliau beinisiatif pergi belajar pada beberapa guru lain, seperti Teungku Cik di Yan di Ie Lebeu, Teungku Abdullah Dayah Meunasah Biang dan Teungku Cik di Tanjung Bungong. Terakhir ia belajar pada Teungku Cik di Lamkrak.



Asal Keturunan Teungku Chik Di Tiro

Muhammad Saman (Teungku Chik Di Tiro), berasal dari Cumbok Lamlo, dilahirkan tahun 1836 di Cumbok Lamlo, Tiro, daerah Pidie, Aceh. Ayahnya bernama Syekh Abdullah, guru agama di Garot, dekat Sigli. Ibunya, Siti Aisyah, adalah adik dari Teungku Cik Dayah Cut, ulama terkenal di Tiro.

Perlawanan Teungku Chik Di Tiro

Ketika Belanda ingin menguasai tanah Aceh. Muhammad Saman (Teungku Chik Di Tiro) tidak langsung turut serta dalam peperangan melawan pasukan Belanda.

Ketika Muhammad Saman (Teungku Chik Di Tiro) tinggal bersama para santri di Lamkrak untuk belajar memperdalam ilmu Agama Islam. Beliau melihat ada kejanggalan yang dijalani para santri.


Dimana para santri ketika siang mereka belajar begitu giat tapi ketika malam hari mereka bergerilya menyerang pasukan Belanda yang ingin menguasai daerah (tanah) aceh.


Dari sinilah Muhammad Saman (Teungku Chik Di Tiro) merasa terpanggil hatinya untuk ikut serta dalam perjuangan para santri tersebut. Tapi belum ikut secara total dalam peperangan tersebut.


Kehidupan beranjaknya kedewasaan Muhammad Saman (Teungku Chik Di Tiro), diwarnai dengan perang yang terjadi antara pasukan kerajaan Aceh dan pasukan Belanda.


Dengan bekal persenjataan yang lengkap banyak daratan (tanah) Aceh yang mampu direbut dan dikuasai oleh Belanda.


Akhirnya pada tahun 1873 tanah Aceh mampu ditaklukan dan direbut oleh Belanda.


Tapi sebelum Belanda mampu mengusai Tanah Rencong Aceh. Belanda mengalami kekalahan di ekspedisi perang mereka pertama yang dipimpin Jendral Mayor Kohier.


Peperangan awal dengan kerajaan Aceh ini menyebabkan terbunuhnya Jendral Mayor Kohier. Hal ini membuat Belanda geram dan kesal. Sehingga Belanda kembali mengirim pasukannya yang besar untuk bisa menaklukan tanah Aceh.


Dalam perang ini Belanda mampu memenangi peperangan karena dilengkapi dengan persenjataan hebat dan lengkap.


Dan akhirnya Istana Kerajaan Aceh pun takluk di tangan Belanda. Untuk menghindari penangkapan terhadap keluarga Kesultanan Aceh. Sultan Acehpun menyingkir beserta keluarganya ke Keumala Dalam yang berada di daerah pedalaman Aceh. Tapi dalam perjalanan ini Sultan Aceh meninggal dunia karena terserang penyakit Kolera.


Perang terhadap Belanda akhirnya dilanjutkan oleh Panglima Polim. Tapi ini tidak berlangsu lama, karena ada perpecahan dikalangan pasukan Aceh yang dipimpin oleh Panglima Polim. Ada pemimpin pasukan Aceh yang mulai memihak ke Belanda.


Melihat peperangan yang dulunya berkobar membara dikalangan rakyat dan pasukan Aceh. Tapi semakin lama menyurut, hal ini menyebabkan Muhammad Saman (Teungku Chik Di Tiro) pergi ke Mekkah untuk melanjutkan kembali belajar dalam memperdalam ilmu agamanya sekaligus menunaikan ibadah haji.


Di tanah suci Mekkah Muhammad Saman (Teungku Chik Di Tiro) banyak meluangkan waktunya untuk bertemu dengan dan berbincang dengan para Ulama Mekkah dalam menambah ilmu pengetahuannya dibidang Agama.


Beliau Muhammad Saman (Teungku Chik Di Tiro) banyak membaca buku tentang perjuangan Islam dimasa lampau. Banyak sesuatu yang beliau peroleh sewaktu di Mekkah. Apalagi tentang kejayaan Islam di masa lampau, dengan perjuangan tanpa memikirkan tentang dunia ini. Tapi berjuang demi menegakkan kejayaan Agama Islam.


Setelah beberapa waktu lamanya tinggal di Mekkah, Muhammad Saman (Teungku Chik Gi Tiro) akhirnya memutuskan kembali untuk kembali ke tanah Aceh.


Ketika sampai di Aceh Muhammad Saman (Teungku Chik Di Tiro), memulai dengan mengajar pada generasi muda Aceh tentang ilmu agama Islam yang diperoleh saat beliau tinggal di Mekkah.


Tapi Muhammad Saman ((Teungku Chik Di Tiro) saat itu melihat banyak kesewenangan-wenangan Belanda terhadap rakyat Aceh. Ada tergerak dihatinya untuk bergerak kembali mengobarkan perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda dimasa lampau.


Tapi karena usia beliau sudah menjelang masa tua, keinginan tersebut diurungkan. Beliau memilih untuk mengajar bagi kalangan muda Aceh.


Hal tersebut tidak berarti Muhammad Saman (Teungku Chik Di Tiro) tidak memikirkan perjuangan dan nasib bangsa Aceh. Beliau tetap mengobarkan perjuangan Aceh melalui pembelajaran bagi kalangan muda Aceh. Untuk tetap memperjuangkan Aceh dari jajahan Belanda.


Pada suatu hari beliau mendengar ada beberapa orang datang ke daerah tempat tinggalnya. Dimana orang-orang tersebut merupakan utusan dari Teungku Cik Dayah Cut.


Utusan ini mencari rakyat Aceh untuk dapat bergabung bersama pasukan Aceh guna melawan pasukan Belanda. Apalagi saat itu pasukan Aceh membutuhkan seorang Ulama Islam yang mau dan bersedia memimpin pasukan Aceh yang di Gunung Biram.


Pasukan Aceh di pedalaman Gunung Biram membutuhkan sesosok Ulama yang mau bersedia menggantikan Teungku Cik Dayah Cut, yang saat itu usianya sudah mulai senja (tua). Sehingga tidak mungkin lagi berjuang memimpin pasukan Aceh dalam melawan Belanda.


Saat inilah hatinya (Teungku Chik Di Tiro) merasa terpanggil untuk melanjutkan perjuangan Teungku Chik Dayah Cut. Ia pun menawarkan diri untuk bergabung dan bersedia memimpin pasukan Aceh dalam melawan pasukan Belanda.


Dengan restu dari pamanya, Teungku Chik Di Tiro (Muhammad Saman) akhirnya berangkan ke Gunung Biram untuk bertemu dengan Teungku Cik Dayah Cut. Disinilah Muhammad Saman (Teungku Chik Di Tiro) melihat langsung kondisi Teungku Cik Dayah Cut. Ada rasa sedih dihatinya, melihat kondisi dari Teungku Cik Dayah Cut. Kondisi yang sudah tua masih harus berperang memimpin pasukan Aceh di pedalaman hutan Gunung Biram.


Karena melihat ini, tanpa keraguan lagi dengan tekad yang matang. Akhirnya Muhammad Saman (Teungku Chik Di Tiro) memproklamirkan dirinya sebagai pejuang Aceh dan bersumpah untuk mengusir semua orang Belanda dari seluruh daratan Aceh. Dan akhirnya Teungku Cik Dayah Cut menunjuk Muhammad Saman untuk mengganti posisinya sebagai pucuk pimpinan dari pergerakkan tentara kerajaan Aceh.


Teungku Chik Di Tiro melihat saat itu kurangnya bala tentara kerajaan Aceh. Ya memang terpecah karena kekalahan saat berperang melawan pasukan Belanda. Tanpa pikir panjang Beliau mengumpulkan pejuang-pejuang dari kalangan pemuda Aceh untuk mau bergabung dan berusaha kembali mengumpulkan sisa dari pasukan tentara kerajaan Aceh.


Melihat kegigihan dan kesungguhan Teungku Chik Ditiro, Panglima kerajaan Aceh yaitu Panglima Polim. Ikut serta kembali bergabung dan kembali mengobarkan perjuangan yang pada saat Panglima Polim memimpin terpecah dan melakukan perjuangan dengan kelompok-kelompok kecil.


Dengan bantuan keluarga Kerajaan Aceh Tuanku Mahmud dan Panglima Polim, berhasil kembali mengumpulkan bekas para ulubalang kerajaan Aceh untuk bersedia membantu Muhammad Saman (Tengku Chik Di Tiro).


Dengan bergabungnya kembali seluruh bekas pasukan Kerajaan Aceh dan para pemuda Aceh. Muhammad Saman (Teungku Chik Di Tiro) berhasil membentuk pasukan besar yang dinamai dengan Pasukan Sabil.


Pasukan ini diberi nama Sabil, karena perjuangan ini bukan saja untuk mengusir Belanda dari Aceh tapi juga untuk menegakkan Agama Islam di Tanah Aceh. Seperti saat Muhammad Saman (Teungku Chik Di Tiro) berada di Mekkah, dan membaca sejarah tentang perjuangan Ummat Islam di tanah Arab pada masa lampau.


Pembentukan baru Tentara Aceh ini rupanya tidak diketahui Belanda. Sehingga Belanda saat itu tidak akan mengira, akan adanya pasukan besar Aceh yang hebat dan dahsyat yang akan kembali mengobarkan perjuangan bangsa Aceh dari tangan penjajah.


Karena tidak ketahuan Belanda terhadap pasukan Aceh yang baru, akhirnya dengan serangan pasukan Sabil yang tidak di duga oleh Pasukan Belanda. Pasukan Sabil berhasil merebut pos (benteng) Belanda yang ada di Indarpuri dan berlanjut ke daerah Samahani yang juga berhasil direbut oelh Pasukan Sabil.


Dan pada tahun yang sama (1881 M), Paukan Sabil juga berhasil merebut kekuasaan Belanda yang ada Aneuk Galong. Hal ini sungguh tidak dikira oleh Pemerintah Belanda.


Untuk menghindari terus terjangan dari pasukan Sabil (Aceh) ini, Belanda akhirnya Belanda menyingkir ke Aceh Besar. Demi mengurangi kehilangan banyak dari bala tentaranya, dan kembali untuk menyusun siasat melawan pasukan Aceh (sabil).


Pada bulan April 1881, ada serah terima pimpinan penguasaan Belanda dari Van der Heyden kepada Pruys van Der Hooven. Pemerintah Belanda melakukan pergantian ini, karena menganggap Van der Heyden sudah tidak mampu untuk mempertahankan kekuasaannya Belanda, dengan banyak daerah yang berhasil direbut oleh Pasuka Aceh.


Pergantian ini juga rupanya merubah sistem politik Belanda, yang dulu saat dipimpin oleh Van der Heyden, yang lebih mengedepankan dengan pola kekerasan (tangan besi) saat menguasai Aceh. Berubah dengan pola damai saat telah dipimpim oleh Pruys van Der Hooven.


Tapi politik Belanda ini hanya sebagai siasat saja, karena pola politik damai ini juga tidak di terima oleh pimpinan Aceh yang saat itu yang dikepalai oleh Muhammad Saman (Teungku Chik Di Tiro). Karena sistim politik damai Belanda ini juga mengedepankan penaklukan bangsa Aceh oleh Belanda.


Hanya saja tidak melalui peperangan tapi melalui sistem pengakuan terhadap penguasaan Belanda terhadap Bangsa Aceh. Dimana Belanda meminta Kesultanan (Kerajaan) Aceh bersedia menjadi Kerajaan yang diakui Belanda tapi berada dibawah perlindungan dan pengawasan Belanda.


Rencana damai yang diprakarsai oleh Belanda pun tidak tercapai. Peperangan antara kedua belah pihak terus berlanjut.


Untuk mempertahankan kekuatan pasukan Aceh, Muhammad Saman (Teungku Chik Di Tiro) membangun benteng-benteng pertahanan dan mengangkat Syekh Pante Hulu sebagai penasehatnya dan pimpinan pasukan bagi bala tentara kerajaan Aceh.


Bukan tanpa alasan Muhammad saman (Teungku Chik Di Tiro) mengangkat Syekh Pante Hulu. Muhammad Saman membutuhkan seseorang yang memiliki kemampuan membakar semangat perjuangan tentara dan rakyat Aceh dan ini dimiliki oleh Syekh Pante Hulu.


Syekh Pante Hulu seorang penyair pada saat itu, syair yang terkenal sampai sekarang adalah “Hikayat Perang Sabil”. Dimana syair ini berisi tentang perjuangan melawan kaum kafir yaitu Belanda. Syair ini mampu membakar gelora semangat perjaungan bangsa Aceh. Karena syair ini berisi tentang bahwasannya siapa yang gugur dalam memerangi kaum kafir demi menegakkan Agama Islam dan tanah Aceh akan diterima disisi Allah SWT dan memasuki Syurga-Nya.


Perlawanan yang didapat Belanda dari pasukan membuat Pasukan Belanda dan Pemerintah Belanda mengalami berkurangnya kekuasannya diberbagai daerah yang dulu dikuasainya.


Untuk mengakali ini Pemerintah Belanda mengambil siasat Devinde et Empera (yaitu adu domba). Pemerintah Belanda menghasut Sultan Aceh bahwasannya Muhammad Saman (Teungku Chiek Di Tiro)  telah mengambil kekuasaan dari tangan Sultan dan menyatakan dirinya sebagai Sultan Aceh yang baru.


Diawalnya siasat ini berhasil mempengaruhi Sultan Kerajaan Aceh. Tapi itu tidak lama. Akhirnya Sultan menyadari bahwasaanya ini hanyalah politik Belanda untuk memecah rakyat Aceh.


Karena kembalinya kepercayaan Sultan Aceh terhadap dirinya (Teungku Chiek Di Tiro). Perlawanan terhadap Belanda pun terus dikobarkan. Pada tanggal 12 Juni 1882, Teungku Chiek Di Tiro mengerahkan pasukannya Ulehleh, Lok Ngha dan Lamtong.


Disinilah terjadi perang besar antara kedua pasukan. Belanda yang mengetahui pergerakan pasukan Muhammad Saman (Teungku Chiek Di Tiro) berserta pasukannya, telah menyiapkan untuk menghadapinya dengan mengerahkan seluruh pasukan Belanda untuk menghadang pergerakan dari pasukan Aceh.


Akhirnya peperangan ini dimenangkan pasukan Belanda, dan Muhammad Saman (Teungku Chiek Di Tiro) beserta pasukannya yang masih selamat mundur ke Kreung Pinang, untuk kembali menyusun kekuatan baru.


Dan pada tahun yang sama Teungku Chiek Di Tiro, kembali melakukan serangan berikutnya. Hal ini tidak diduga oleh pasukan Belanda, sehingga pada tahun 1883 Belanda mampu dikalahkan dari Tanah Aceh. Daerahn Sagi yang dulu dikuasai oleh Belanda akhirnya dapat direbut kembali menjadi kekuasaan dari Kesultanan Aceh.


Pada tahun 1885 akhirnya pasukan Aceh yang dipimpin oleh Teungku Chiek Di Tiro mampu merebut benteng pasukan Belanda yang ada di Lambaro, Aneuk Galong.


Kejatuhan benteng-benteng yang dikuasai Belanda ke tangan pasukan Aceh (Teungku Chiek Di Tirio) membuat kekuatan Belanda semakin berkurang atas tanah Aceh yang dulu dukuasainya. Hal ini membuat Belanda menggunakan rencan liciknya. Karena Belanda mengetahui bahwasannya mereka tak akan mampu merebut kembali Aceh dengan kekuatan meiliternya.


Akhir Perjuangan Teungku Chiek Di Tiro

Untuk mendesak pasukan Belanda untuk angkat kaki dari Tanah Aceh. Muhammad Saman beserta pasukannya terus melakukan serangan terhadap Belanda didaerah lain. Hal ini membuat pasukan Belanda terus terdesak dengan serangan yang dilakukan Muhammad Saman (Teungku Cheik Di Tiri) beserta pasukannya.

Apalagi ada slogan dari Teungku Chiek Di Tiro bahwasannya beliau akan membunuh semua orang-orang Belanda yang tidak mau angkat kaki dari bumi Aceh. Hal ini tentu saja membuat semua pasukan Belanda semakin bergetar dan takut akan kekuatan Pasukan Sabil yang mereka ketahui sangat dahsyat dalam peperangan.


Mengetahui hal ini Pemerintah Belanda mengirim seorang Dr. Snouck Hurgronye untuk membantu Pemerintah Belanda dalam meredam kekuatan bala tentara Teungku Cheik Di Tiro. Rencana yang dilakukan Belanda dengan menggunakan Dr. Snouck Hurgronye, agar bersedia mempelajari Agama dan Budaya Aceh sehingga nantinya Belanda mengetahui kelemahan dari kekuatan pasukan Aceh yang dipimpin oleh Muhammad saman (Teungku Cheid Di Tiro).


Untuk mengelabui Teungku Chiek Di Tiro, Dr. Snouck Hurgronye berpura-pura memeluk Islam, sehingga ia nantinya bisa masuk ke dalam lingkungan rakyat Aceh. Kelicikan yang dilakukan Belanda ini tidak diketahui oleh Muhammad Saman sehingga dengan tangan terbuka menerima Dr. Snouck Hurgronye untuk masuk menjadi bagian dari rakyat Aceh.


Untuk memahami karakter yang dimiliki oleh masyarakat Aceh. Dr. Snouck Hurgronye pergi ke Mekkah dengan menyamar sebagai Dokter Mata dan mengganti nama menjadi Abdul Gafur. Dr. Snouck Hurgronye mencari dan mengumpulkan semua informasi yang didapat tentang orang-orang Aceh dan hubungannya dengan para Mujahiddin yang ada di Mekkah.


Setelah ia merasa cukup atas informasi yang diterima, Dr. Snouck Hurgronye kembali dari tanah Mekkah. Dan ia diangkat menjadi penasehat Pemerintahan Belanda.


Hasil dari penyemaran inilah, Dr. Snouck Hurgronye membuat tiga buah buku. Dimana buku ini dijadikan sebagai pedoman oleh Pemerintah Belanda untuk melemahkan perlawanan pasukan Aceh.

Buku yang dikarang oleh Dr. Snouck Hurgronye, sebagai berikut :
  1.  Het Mekaansche feest;
  2.  De Atjehers; dan
  3.  Nederland en de Islam
Buku ini menceritakan semua tentang kebudayaan Aceh dan Agama Islam yang dipeluk oleh Rakyat Aceh.

Dengan berbekal informasi yang diperoleh dari Dr. Snouck Hurgronye inilah Belanda akhirnya menggunakan siasat baru untuk melemahkan pergerakkan pasukan Aceh yang dipimpin oleh Muhammad Saman (Teungku Chiek Di Tiro).


Belanda mendekati Sultan Aceh untuk membujuk Teungku Chiek Di Tiro melakukan perjanjian damai. Tapi hal ini ditolak oleh Teungku Chiek Di Tiro. Karena dengan melakukan perjanjian damai berarti mengakui kekalahan pasukan Aceh dari Belanda. Dan membiarkan Belanda akan terus berada di Tanah Rencong Aceh. Dan hal ini yang tidak disukai oleh Teungku Chiek Di Tiro.


Karena awal perjuangan ini dilakukan untuk mengusir semua orang-orang Belanda dari seluruh tanah Aceh. Jadi jika dilakukan perjanjian damai tentu saja akan membuat Belanda tetap berada di Aceh dan menjadi tumor di Tanah Aceh. Dan pastilah akan terus berkembang menggerogoti tanah Aceh dikemudian hari.


Karena tidak berhasil melakukan siasat dengan mempengaruhi Muhammad saman (Teungku Chiek Di Tiro) dengan menggunakan tangan Sultan Aceh. Belanda kembali menyusun siasat baru untuk mengakhiri perjuangan dan perlawanan dari Teungku Chiek Di Tiro beserta pasukannya.


Dengan segala daya dan pikiran yang terkuras memikirkan tentang Muhammad Saman (Teungku Chiek Di Tiro) ini. Belanda akhirnya menemukan cara bagaimana untuk mengakhiri perjalannan Muhammad Saman (Teungku Chiek Di Tiro).


Belanda berhasil menemukan orang Aceh yang mau bekerjasama dengan Belanda. Siasat licik yang dijalankan Belanda adalah dengan memberi angin syurga kepada pengkhianat perjuangan Rakyat Aceh ini, bahwasannya jika ia berhasil mengakhiri kehidupan Muhammad Saman (Teungku Chiek Di Tiro) akan diangkat menjadi Kepala Sagi.


Pengkhianat ini sebenarnya masih berada dalam lingkungan istana Kesultanan Aceh. Pengkhianat ini merupakan anak dari Panglima Sagi XXII yang pada saat itu sudah berusia lanjut.


Belanda menghasut bahwasanya jika ayahnya meninggal dunia, nanti posisi yang selama ini dipegang oleh ayahnya akan diambil alih oleh Muhammad Saman (Teungku Chiek Di Tiro) dan diberikan kepada orang lain.


Hal ini tentu saja membuat gusar pengkhianat dari anak Panglima Polim XXII. Dan akhirnya ia terhasut dan mau melakukan apa yang diinginkan pihak Belanda.


Dengan cara yang sangat licik pengkhianat ini juga menghasut seorang wanita Aceh. Wanita ini bernama Nyak Ubit. Nyak Ubit di hasut untuk membunuh Muhammad Saman (Teungku Chiek Di Tiro), dengan janji akan dijadikan posisi yang terhormat, jika kelak jika ia diangkat Sultan Aceh untuk mengganti posisi ayahnya menjadi Panglima Polim XXII.


Rencana inipun dijalankan ketika Muhammad Saman (Teungku Chiek Di Tiro) datang ke benteng Tui Suilemeng. Disini Muhammad Saman (Teungku Chiek Di Tiro) dihidangkan makanan yang telah diberi racun oleh Nyak Ubit.


Dan akibat makanan yang dihidangkan ini, akhirnya perjuangan Muhammad Saman (Teungku Chiek Di Tiro) berakhir dengan gugurnya seorang pahlawan Besar yang gagah berani terus melakukan perlawan terhadap Belanda tanpa ada kata ampun.


Apalagi Panglima Polim yang tidak berujung lama juga meninggal dunia. Dengan meninggalnya kedua orang ini yang menjadi panutan dan pemimpin tertinggi pasukan Aceh. Perlawan rakyat Aceh akhirnya surut dan Belanda kembali mencekram kukunya dengan leluasa di tanah Rencong Aceh akibat dari seorang pengkhianat yang hanya mementingkan dirinya dan sebuah jabatan dunia bukan bumi Tanah Rencong Aceh.


Perjuangan yang dilakukan Muhammad Saman (Teungku Chiek Di Tiro) bukan merupakan sesuatu kekalahan dengan gugurnya Beliau. Tapi ia gugur karena pengkhianatan yang dilakukan oleh seorang rakyat Aceh sendiri akibat kelicikan yang disiasati oleh Belanda.


Muhammad Saman (Teungku Chiek Di Tiro) akhirnya ditetapkan sebagai Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan oleh pemerintah pada tanggal 6 Nopember 1973 melalui SK Presiden RI No. 87/TK/ Tahun 1973.




Biografi Tengku Chik Di Tiro

Hidup dalam ruang lingkup ajaran agama Islam. Masa kecil Chik Di Tiro yang bernama asli Muhammad Saman selalu dijalani dengan selalu mengikuti ajaran-ajaran Agama Islam yang sangat ketat.

Masa kecil yang harus dijalani dengan bermain, tapi tidak bagi Muhammad Saman (Teungku Chik Ditiro). Masa kecil beliau hidup selalu berada dikalangan para snatri yang ada di Garot dan di Tiro.


Masa kecilnyapun telah tampak bahwasannya, beliau kelak akan menjadi orang besar (hebat). Seorang anak kecil yang haus akan ilmu, sehingga beliau dari kecil sudah banyak belajar dari beberapa guru khususnya dalam mempelajari Agama Islam.


Ketika beranjak dewasa Teungku Cik Di Tiro tidak pernah puas akan ilmu yang dipelajarinya. Beliau terus belajar menuntut ilmu sehingga membawanya berguru ke Lamkrak, Aceh Besar.


Muhammad Saman (Teungku Chik Di Tiro) merasa pelajaran yang diterima dari ayah dan pamannya dirasanya belum cukup. Karena itulah beliau beinisiatif pergi belajar pada beberapa guru lain, seperti Teungku Cik di Yan di Ie Lebeu, Teungku Abdullah Dayah Meunasah Biang dan Teungku Cik di Tanjung Bungong. Terakhir ia belajar pada Teungku Cik di Lamkrak.

Asal Keturunan Teungku Chik Di Tiro

Muhammad Saman (Teungku Chik Di Tiro), dilahirkan tahun 1836 di Cumbok Lamlo, Tiro, daerah Pidie, Aceh. Ayahnya bernama Syekh Abdullah, guru agama di Garot, dekat Sigli. Ibunya, Siti Aisyah, adalah adik dari Teungku Cik Dayah Cut, ulama terkenal di Tiro.

Perlawanan Teungku Chik Di Tiro

Ketika Belanda ingin menguasai tanah Aceh. Muhammad Saman (Teungku Chik Di Tiro) tidak langsung turut serta dalam peperangan melawan pasukan Belanda.

Ketika Muhammad Saman (Teungku Chik Di Tiro) tinggal bersama para santri di Lamkrak untuk belajar memperdalam ilmu Agama Islam. Beliau melihat ada kejanggalan yang dijalani para santri.


Dimana para santri ketika siang mereka belajar begitu giat tapi ketika malam hari mereka bergerilya menyerang pasukan Belanda yang ingin menguasai daerah (tanah) aceh.


Dari sinilah Muhammad Saman (Teungku Chik Di Tiro) merasa terpanggil hatinya untuk ikut serta dalam perjuangan para santri tersebut. Tapi belum ikut secara total dalam peperangan tersebut.


Kehidupan beranjaknya kedewasaan Muhammad Saman (Teungku Chik Di Tiro), diwarnai dengan perang yang terjadi antara pasukan kerajaan Aceh dan pasukan Belanda.


Dengan bekal persenjataan yang lengkap banyak daratan (tanah) Aceh yang mampu direbut dan dikuasai oleh Belanda.


Akhirnya pada tahun 1873 tanah Aceh mampu ditaklukan dan direbut oleh Belanda.


Tapi sebelum Belanda mampu mengusai Tanah Rencong Aceh. Belanda mengalami kekalahan di ekspedisi perang mereka pertama yang dipimpin Jendral Mayor Kohier.


Peperangan awal dengan kerajaan Aceh ini menyebabkan terbunuhnya Jendral Mayor Kohier. Hal ini membuat Belanda geram dan kesal. Sehingga Belanda kembali mengirim pasukannya yang besar untuk bisa menaklukan tanah Aceh.


Dalam perang ini Belanda mampu memenangi peperangan karena dilengkapi dengan persenjataan hebat dan lengkap.


Dan akhirnya Istana Kerajaan Aceh pun takluk di tangan Belanda. Untuk menghindari penangkapan terhadap keluarga Kesultanan Aceh. Sultan Acehpun menyingkir beserta keluarganya ke Keumala Dalam yang berada di daerah pedalaman Aceh. Tapi dalam perjalanan ini Sultan Aceh meninggal dunia karena terserang penyakit Kolera.


Perang terhadap Belanda akhirnya dilanjutkan oleh Panglima Polim. Tapi ini tidak berlangsu lama, karena ada perpecahan dikalangan pasukan Aceh yang dipimpin oleh Panglima Polim. Ada pemimpin pasukan Aceh yang mulai memihak ke Belanda.


Melihat peperangan yang dulunya berkobar membara dikalangan rakyat dan pasukan Aceh. Tapi semakin lama menyurut, hal ini menyebabkan Muhammad Saman (Teungku Chik Di Tiro) pergi ke Mekkah untuk melanjutkan kembali belajar dalam memperdalam ilmu agamanya sekaligus menunaikan ibadah haji.


Di tanah suci Mekkah Muhammad Saman (Teungku Chik Di Tiro) banyak meluangkan waktunya untuk bertemu dengan dan berbincang dengan para Ulama Mekkah dalam menambah ilmu pengetahuannya dibidang Agama.


Beliau Muhammad Saman (Teungku Chik Di Tiro) banyak membaca buku tentang perjuangan Islam dimasa lampau. Banyak sesuatu yang beliau peroleh sewaktu di Mekkah. Apalagi tentang kejayaan Islam di masa lampau, dengan perjuangan tanpa memikirkan tentang dunia ini. Tapi berjuang demi menegakkan kejayaan Agama Islam.


Setelah beberapa waktu lamanya tinggal di Mekkah, Muhammad Saman (Teungku Chik Gi Tiro) akhirnya memutuskan kembali untuk kembali ke tanah Aceh.


Ketika sampai di Aceh Muhammad Saman (Teungku Chik Di Tiro), memulai dengan mengajar pada generasi muda Aceh tentang ilmu agama Islam yang diperoleh saat beliau tinggal di Mekkah.


Tapi Muhammad Saman ((Teungku Chik Di Tiro) saat itu melihat banyak kesewenangan-wenangan Belanda terhadap rakyat Aceh. Ada tergerak dihatinya untuk bergerak kembali mengobarkan perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda dimasa lampau.


Tapi karena usia beliau sudah menjelang masa tua, keinginan tersebut diurungkan. Beliau memilih untuk mengajar bagi kalangan muda Aceh.


Hal tersebut tidak berarti Muhammad Saman (Teungku Chik Di Tiro) tidak memikirkan perjuangan dan nasib bangsa Aceh. Beliau tetap mengobarkan perjuangan Aceh melalui pembelajaran bagi kalangan muda Aceh. Untuk tetap memperjuangkan Aceh dari jajahan Belanda.


Pada suatu hari beliau mendengar ada beberapa orang datang ke daerah tempat tinggalnya. Dimana orang-orang tersebut merupakan utusan dari Teungku Cik Dayah Cut.


Utusan ini mencari rakyat Aceh untuk dapat bergabung bersama pasukan Aceh guna melawan pasukan Belanda. Apalagi saat itu pasukan Aceh membutuhkan seorang Ulama Islam yang mau dan bersedia memimpin pasukan Aceh yang di Gunung Biram.


Pasukan Aceh di pedalaman Gunung Biram membutuhkan sesosok Ulama yang mau bersedia menggantikan Teungku Cik Dayah Cut, yang saat itu usianya sudah mulai senja (tua). Sehingga tidak mungkin lagi berjuang memimpin pasukan Aceh dalam melawan Belanda.


Saat inilah hatinya (Teungku Chik Di Tiro) merasa terpanggil untuk melanjutkan perjuangan Teungku Chik Dayah Cut. Ia pun menawarkan diri untuk bergabung dan bersedia memimpin pasukan Aceh dalam melawan pasukan Belanda.


Dengan restu dari pamanya, Teungku Chik Di Tiro (Muhammad Saman) akhirnya berangkan ke Gunung Biram untuk bertemu dengan Teungku Cik Dayah Cut. Disinilah Muhammad Saman (Teungku Chik Di Tiro) melihat langsung kondisi Teungku Cik Dayah Cut. Ada rasa sedih dihatinya, melihat kondisi dari Teungku Cik Dayah Cut. Kondisi yang sudah tua masih harus berperang memimpin pasukan Aceh di pedalaman hutan Gunung Biram.


Karena melihat ini, tanpa keraguan lagi dengan tekad yang matang. Akhirnya Muhammad Saman (Teungku Chik Di Tiro) memproklamirkan dirinya sebagai pejuang Aceh dan bersumpah untuk mengusir semua orang Belanda dari seluruh daratan Aceh. Dan akhirnya Teungku Cik Dayah Cut menunjuk Muhammad Saman untuk mengganti posisinya sebagai pucuk pimpinan dari pergerakkan tentara kerajaan Aceh.


Teungku Chik Di Tiro melihat saat itu kurangnya bala tentara kerajaan Aceh. Ya memang terpecah karena kekalahan saat berperang melawan pasukan Belanda. Tanpa pikir panjang Beliau mengumpulkan pejuang-pejuang dari kalangan pemuda Aceh untuk mau bergabung dan berusaha kembali mengumpulkan sisa dari pasukan tentara kerajaan Aceh.


Melihat kegigihan dan kesungguhan Teungku Chik Ditiro, Panglima kerajaan Aceh yaitu Panglima Polim. Ikut serta kembali bergabung dan kembali mengobarkan perjuangan yang pada saat Panglima Polim memimpin terpecah dan melakukan perjuangan dengan kelompok-kelompok kecil.


Dengan bantuan keluarga Kerajaan Aceh Tuanku Mahmud dan Panglima Polim, berhasil kembali mengumpulkan bekas para ulubalang kerajaan Aceh untuk bersedia membantu Muhammad Saman (Tengku Chik Di Tiro).


Dengan bergabungnya kembali seluruh bekas pasukan Kerajaan Aceh dan para pemuda Aceh. Muhammad Saman (Teungku Chik Di Tiro) berhasil membentuk pasukan besar yang dinamai dengan Pasukan Sabil.


Pasukan ini diberi nama Sabil, karena perjuangan ini bukan saja untuk mengusir Belanda dari Aceh tapi juga untuk menegakkan Agama Islam di Tanah Aceh. Seperti saat Muhammad Saman (Teungku Chik Di Tiro) berada di Mekkah, dan membaca sejarah tentang perjuangan Ummat Islam di tanah Arab pada masa lampau.


Pembentukan baru Tentara Aceh ini rupanya tidak diketahui Belanda. Sehingga Belanda saat itu tidak akan mengira, akan adanya pasukan besar Aceh yang hebat dan dahsyat yang akan kembali mengobarkan perjuangan bangsa Aceh dari tangan penjajah.


Karena tidak ketahuan Belanda terhadap pasukan Aceh yang baru, akhirnya dengan serangan pasukan Sabil yang tidak di duga oleh Pasukan Belanda. Pasukan Sabil berhasil merebut pos (benteng) Belanda yang ada di Indarpuri dan berlanjut ke daerah Samahani yang juga berhasil direbut oelh Pasukan Sabil.


Dan pada tahun yang sama (1881 M), Paukan Sabil juga berhasil merebut kekuasaan Belanda yang ada Aneuk Galong. Hal ini sungguh tidak dikira oleh Pemerintah Belanda.


Untuk menghindari terus terjangan dari pasukan Sabil (Aceh) ini, Belanda akhirnya Belanda menyingkir ke Aceh Besar. Demi mengurangi kehilangan banyak dari bala tentaranya, dan kembali untuk menyusun siasat melawan pasukan Aceh (sabil).


Pada bulan April 1881, ada serah terima pimpinan penguasaan Belanda dari Van der Heyden kepada Pruys van Der Hooven. Pemerintah Belanda melakukan pergantian ini, karena menganggap Van der Heyden sudah tidak mampu untuk mempertahankan kekuasaannya Belanda, dengan banyak daerah yang berhasil direbut oleh Pasuka Aceh.


Pergantian ini juga rupanya merubah sistem politik Belanda, yang dulu saat dipimpin oleh Van der Heyden, yang lebih mengedepankan dengan pola kekerasan (tangan besi) saat menguasai Aceh. Berubah dengan pola damai saat telah dipimpim oleh Pruys van Der Hooven.


Tapi politik Belanda ini hanya sebagai siasat saja, karena pola politik damai ini juga tidak di terima oleh pimpinan Aceh yang saat itu yang dikepalai oleh Muhammad Saman (Teungku Chik Di Tiro). Karena sistim politik damai Belanda ini juga mengedepankan penaklukan bangsa Aceh oleh Belanda.


Hanya saja tidak melalui peperangan tapi melalui sistem pengakuan terhadap penguasaan Belanda terhadap Bangsa Aceh. Dimana Belanda meminta Kesultanan (Kerajaan) Aceh bersedia menjadi Kerajaan yang diakui Belanda tapi berada dibawah perlindungan dan pengawasan Belanda.


Rencana damai yang diprakarsai oleh Belanda pun tidak tercapai. Peperangan antara kedua belah pihak terus berlanjut.


Untuk mempertahankan kekuatan pasukan Aceh, Muhammad Saman (Teungku Chik Di Tiro) membangun benteng-benteng pertahanan dan mengangkat Syekh Pante Hulu sebagai penasehatnya dan pimpinan pasukan bagi bala tentara kerajaan Aceh.


Bukan tanpa alasan Muhammad saman (Teungku Chik Di Tiro) mengangkat Syekh Pante Hulu. Muhammad Saman membutuhkan seseorang yang memiliki kemampuan membakar semangat perjuangan tentara dan rakyat Aceh dan ini dimiliki oleh Syekh Pante Hulu.


Syekh Pante Hulu seorang penyair pada saat itu, syair yang terkenal sampai sekarang adalah “Hikayat Perang Sabil”. Dimana syair ini berisi tentang perjuangan melawan kaum kafir yaitu Belanda. Syair ini mampu membakar gelora semangat perjaungan bangsa Aceh. Karena syair ini berisi tentang bahwasannya siapa yang gugur dalam memerangi kaum kafir demi menegakkan Agama Islam dan tanah Aceh akan diterima disisi Allah SWT dan memasuki Syurga-Nya.


Perlawanan yang didapat Belanda dari pasukan membuat Pasukan Belanda dan Pemerintah Belanda mengalami berkurangnya kekuasannya diberbagai daerah yang dulu dikuasainya.


Untuk mengakali ini Pemerintah Belanda mengambil siasat Devinde et Empera (yaitu adu domba). Pemerintah Belanda menghasut Sultan Aceh bahwasannya Muhammad Saman (Teungku Chiek Di Tiro)  telah mengambil kekuasaan dari tangan Sultan dan menyatakan dirinya sebagai Sultan Aceh yang baru.


Diawalnya siasat ini berhasil mempengaruhi Sultan Kerajaan Aceh. Tapi itu tidak lama. Akhirnya Sultan menyadari bahwasaanya ini hanyalah politik Belanda untuk memecah rakyat Aceh.


Karena kembalinya kepercayaan Sultan Aceh terhadap dirinya (Teungku Chiek Di Tiro). Perlawanan terhadap Belanda pun terus dikobarkan. Pada tanggal 12 Juni 1882, Teungku Chiek Di Tiro mengerahkan pasukannya Ulehleh, Lok Ngha dan Lamtong.


Disinilah terjadi perang besar antara kedua pasukan. Belanda yang mengetahui pergerakan pasukan Muhammad Saman (Teungku Chiek Di Tiro) berserta pasukannya, telah menyiapkan untuk menghadapinya dengan mengerahkan seluruh pasukan Belanda untuk menghadang pergerakan dari pasukan Aceh.


Akhirnya peperangan ini dimenangkan pasukan Belanda, dan Muhammad Saman (Teungku Chiek Di Tiro) beserta pasukannya yang masih selamat mundur ke Kreung Pinang, untuk kembali menyusun kekuatan baru.


Dan pada tahun yang sama Teungku Chiek Di Tiro, kembali melakukan serangan berikutnya. Hal ini tidak diduga oleh pasukan Belanda, sehingga pada tahun 1883 Belanda mampu dikalahkan dari Tanah Aceh. Daerahn Sagi yang dulu dikuasai oleh Belanda akhirnya dapat direbut kembali menjadi kekuasaan dari Kesultanan Aceh.


Pada tahun 1885 akhirnya pasukan Aceh yang dipimpin oleh Teungku Chiek Di Tiro mampu merebut benteng pasukan Belanda yang ada di Lambaro, Aneuk Galong.


Kejatuhan benteng-benteng yang dikuasai Belanda ke tangan pasukan Aceh (Teungku Chiek Di Tirio) membuat kekuatan Belanda semakin berkurang atas tanah Aceh yang dulu dukuasainya. Hal ini membuat Belanda menggunakan rencan liciknya. Karena Belanda mengetahui bahwasannya mereka tak akan mampu merebut kembali Aceh dengan kekuatan meiliternya.




Akhir Perjuangan Teungku Chiek Di Tiro

Untuk mendesak pasukan Belanda untuk angkat kaki dari Tanah Aceh. Muhammad Saman beserta pasukannya terus melakukan serangan terhadap Belanda didaerah lain. Hal ini membuat pasukan Belanda terus terdesak dengan serangan yang dilakukan Muhammad Saman (Teungku Cheik Di Tiri) beserta pasukannya.

Apalagi ada slogan dari Teungku Chiek Di Tiro bahwasannya beliau akan membunuh semua orang-orang Belanda yang tidak mau angkat kaki dari bumi Aceh. Hal ini tentu saja membuat semua pasukan Belanda semakin bergetar dan takut akan kekuatan Pasukan Sabil yang mereka ketahui sangat dahsyat dalam peperangan.


Mengetahui hal ini Pemerintah Belanda mengirim seorang Dr. Snouck Hurgronye untuk membantu Pemerintah Belanda dalam meredam kekuatan bala tentara Teungku Cheik Di Tiro. Rencana yang dilakukan Belanda dengan menggunakan Dr. Snouck Hurgronye, agar bersedia mempelajari Agama dan Budaya Aceh sehingga nantinya Belanda mengetahui kelemahan dari kekuatan pasukan Aceh yang dipimpin oleh Muhammad saman (Teungku Cheid Di Tiro).


Untuk mengelabui Teungku Chiek Di Tiro, Dr. Snouck Hurgronye berpura-pura memeluk Islam, sehingga ia nantinya bisa masuk ke dalam lingkungan rakyat Aceh. Kelicikan yang dilakukan Belanda ini tidak diketahui oleh Muhammad Saman sehingga dengan tangan terbuka menerima Dr. Snouck Hurgronye untuk masuk menjadi bagian dari rakyat Aceh.


Untuk memahami karakter yang dimiliki oleh masyarakat Aceh. Dr. Snouck Hurgronye pergi ke Mekkah dengan menyamar sebagai Dokter Mata dan mengganti nama menjadi Abdul Gafur. Dr. Snouck Hurgronye mencari dan mengumpulkan semua informasi yang didapat tentang orang-orang Aceh dan hubungannya dengan para Mujahiddin yang ada di Mekkah.


Setelah ia merasa cukup atas informasi yang diterima, Dr. Snouck Hurgronye kembali dari tanah Mekkah. Dan ia diangkat menjadi penasehat Pemerintahan Belanda.


Dengan berbekal informasi yang diperoleh dari Dr. Snouck Hurgronye inilah Belanda akhirnya menggunakan siasat baru untuk melemahkan pergerakkan pasukan Aceh yang dipimpin oleh Muhammad Saman (Teungku Chiek Di Tiro).


Belanda mendekati Sultan Aceh untuk membujuk Teungku Chiek Di Tiro melakukan perjanjian damai. Tapi hal ini ditolak oleh Teungku Chiek Di Tiro. Karena dengan melakukan perjanjian damai berarti mengakui kekalahan pasukan Aceh dari Belanda. Dan membiarkan Belanda akan terus berada di Tanah Rencong Aceh. Dan hal ini yang tidak disukai oleh Teungku Chiek Di Tiro.


Karena awal perjuangan ini dilakukan untuk mengusir semua orang-orang Belanda dari seluruh tanah Aceh. Jadi jika dilakukan perjanjian damai tentu saja akan membuat Belanda tetap berada di Aceh dan menjadi tumor di Tanah Aceh. Dan pastilah akan terus berkembang menggerogoti tanah Aceh dikemudian hari.


Karena tidak berhasil melakukan siasat dengan mempengaruhi Muhammad saman (Teungku Chiek Di Tiro) dengan menggunakan tangan Sultan Aceh. Belanda kembali menyusun siasat baru untuk mengakhiri perjuangan dan perlawanan dari Teungku Chiek Di Tiro beserta pasukannya.


Dengan segala daya dan pikiran yang terkuras memikirkan tentang Muhammad Saman (Teungku Chiek Di Tiro) ini. Belanda akhirnya menemukan cara bagaimana untuk mengakhiri perjalannan Muhammad Saman (Teungku Chiek Di Tiro).


Belanda berhasil menemukan orang Aceh yang mau bekerjasama dengan Belanda. Siasat licik yang dijalankan Belanda adalah dengan memberi angin syurga kepada pengkhianat perjuangan Rakyat Aceh ini, bahwasannya jika ia berhasil mengakhiri kehidupan Muhammad Saman (Teungku Chiek Di Tiro) akan diangkat menjadi Kepala Sagi.


Pengkhianat ini sebenarnya masih berada dalam lingkungan istana Kesultanan Aceh. Pengkhianat ini merupakan anak dari Panglima Sagi XXII yang pada saat itu sudah berusia lanjut.


Belanda menghasut bahwasanya jika ayahnya meninggal dunia, nanti posisi yang selama ini dipegang oleh ayahnya akan diambil alih oleh Muhammad Saman (Teungku Chiek Di Tiro) dan diberikan kepada orang lain.


Hal ini tentu saja membuat gusar pengkhianat dari anak Panglima Polim XXII. Dan akhirnya ia terhasut dan mau melakukan apa yang diinginkan pihak Belanda.


Dengan cara yang sangat licik pengkhianat ini juga menghasut seorang wanita Aceh. Wanita ini bernama Nyak Ubit. Nyak Ubit di hasut untuk membunuh Muhammad Saman (Teungku Chiek Di Tiro), dengan janji akan dijadikan posisi yang terhormat, jika kelak jika ia diangkat Sultan Aceh untuk mengganti posisi ayahnya menjadi Panglima Polim XXII.


Rencana inipun dijalankan ketika Muhammad Saman (Teungku Chiek Di Tiro) datang ke benteng Tui Suilemeng. Disini Muhammad Saman (Teungku Chiek Di Tiro) dihidangkan makanan yang telah diberi racun oleh Nyak Ubit.


Dan akibat makanan yang dihidangkan ini, akhirnya perjuangan Muhammad Saman (Teungku Chiek Di Tiro) berakhir dengan gugurnya seorang pahlawan Besar yang gagah berani terus melakukan perlawan terhadap Belanda tanpa ada kata ampun.


Apalagi Panglima Polim yang tidak berujung lama juga meninggal dunia. Dengan meninggalnya kedua orang ini yang menjadi panutan dan pemimpin tertinggi pasukan Aceh. Perlawan rakyat Aceh akhirnya surut dan Belanda kembali mencekram kukunya dengan leluasa di tanah Rencong Aceh akibat dari seorang pengkhianat yang hanya mementingkan dirinya dan sebuah jabatan dunia bukan bumi Tanah Rencong Aceh.


Perjuangan yang dilakukan Muhammad Saman (Teungku Chiek Di Tiro) bukan merupakan sesuatu kekalahan dengan gugurnya Beliau. Tapi ia gugur karena pengkhianatan yang dilakukan oleh seorang rakyat Aceh sendiri akibat kelicikan yang disiasati oleh Belanda.


Muhammad Saman (Teungku Chiek Di Tiro) akhirnya ditetapkan sebagai Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan oleh pemerintah pada tanggal 6 Nopember 1973 melalui SK Presiden RI No. 87/TK/ Tahun 1973.



Posting Komentar untuk "Sejarah Teungku Chik Di Tiro"